Sebagai anak kolong (istilah untuk anak TNI-POLRI jaman doeloe) saya lahir dan tumbuh di berbagai daerah berbeda di Indonesia. Ini merupakan keuntungan karena saya jadi “terpaksa” ikut merantau dengan orang tua untuk tugas yang jadinya membuat saya mengenal berbagai suku, kebudayaan, serta belajar berinteraksi dengan penganut agama lain. Hal seru lainnya juga jadi kenal tempat wisata dan makanan daerah setempat. Sayang dulu belum ada IG bahkan ponsel jadi kenangan ini hanya ada di album foto yang sudah mulai berganti warnanya.
Salah satu keseruan dan tantangan dalam merantau adalah : belajar bahasa daerah setempat. Apalagi bila merantau ke pulau seberang, yang notabene jenis bahasanya berbeda jauh dengan bahasa daerah sendiri. Kebiasaan masyarakat, kuliner, serta bahasa menjadi tantangan sendiri dalam beradaptasi di sana.
Seperti dua cerita berikut ini:
Serabi Seep
Pagi itu sepasang suami istri paruh baya menikmati udara pagi menelusuri jalan setapak di Dago Atas, Bandung. Sang istri melihat ada seorang ibu penjual serabi khas Bandung di pinggir jalan lalu iapun meminta sang suami menunggu sebentar untuk membeli serabi tersebut.
Istri menghampiri dan mulai memesan serabinya ke ibu tersebut. Sang ibu penjual sedang sibuk menyiapkan beberapa serabi yang tampaknya sudah dipesan oleh pembeli lain.
Istri : “Bu, serabinya 2 ya”
Ibu Penjual : “Seep, neng”
Istri : “Oya ga apa, saya tunggu, Bu”
Ibu Penjual : “Seep neng, seep”
Istri : “Iya bu gapapa, saya tungguin di sini”
Ibu Penjual menggelengkan kepala lalu melanjutkan menyiapkan serabi. Selesai membungkus semua serabi yang ia kerjakan iapun berbenah. Sang Istri terkejut karena pesanannya tidak dibikin padahal sudah menanti sejak tadi. Ia bertanya kepada sang ibu dengan nada protes.
Istri : “Lho, Bu, serabi saya mana??!”
Ibu Penjual : “Seep nenggg… HABIS”
Istri : “Oohh!! Seep itu habissss, saya pikir ibu suruh nunggu!”
#tepokjidat
Begitulah, percakapan antara pembeli yang berasal dari Palembang dan Gorontalo dengan penjual dari Bandung. Jembatan bahasa memang tidak mudah diseberangi.
Buah Kok Amis?!
Kembali lagi ke kisah antara sepasang suami istri paruh baya dari pulau seberang yang sedang merantau ke tanah Sunda. Suatu hari di pasar lokal, sang istri yang berniat membeli buah menghampiri penjual buah mangga.
Istri : “Pak, Mau ya mangganya 1kg, mau yang manis ya” (Mengambil 1 mangga dari tumpukan dan mencium aromanya)
Penjual : “Iya neng”
Sang suami menghampiri dan ikut melihat mangga lalu bertanya dengan bahasa Sunda. Kebetulan sang suami dulu pernah tinggal beberapa lama di Bandung sehingga tidak asing baginya menggunakan bahasa Sunda.
Suami : “Pak, amis teu?”
Penjual : “Amis atuh!”, jawab penjual dengan polosnya sambil memilihkan mangga.
Sang istri yang mendengar percapakan tersebut kaget dan merasa tertipu. Kok tadi dibilang manis sekarang amis???
Istri : “Eehh Pak saya mintanya yang manis ya! Kalo amis ini saya ga mau!”
Penjual melongo, sang suami tertegun lalu tertawa.
Suami : “Amis itu bahasa Sundanya manis, Ma”
#nyumputdikeranjang
Kedua kisah tersebut di atas berdasarkan cerita nyata orang tua saya yang kala itu pindah ke Bandung untuk bertugas. Ayah yang dulunya pernah bertugas lama di Bandung saat muda lebih hapal bahasa Sunda daripada ibu saya yang belum pernah sama sekali tinggal di Bandung, maka terjadilah miskomunikasi tersebut.
Namun pengalaman seperti ini justru memudahkan kita dalam belajar bahasa karena kesan yang ditinggalkan memperkuat ingatan kita. Jadi mari berbicara untuk melatih bahasa kita dan perbanyak pengalaman bertemu “serabi seep” dan “mangga amis”nya 😀
Tulisan ini saya buat untuk Tantangan Mamah Gajah Ngeblog bulan September dengan tema Pengalaman Berbahasa Seumur Hidup dalam rangka menyambut Hari Aksara Internasional yang jatuh pada hari ini yaitu 8 September 2021.
Leave a reply to Rijo Tobing Cancel reply